Cerpen Ema Afriyani

ANAK NELAYAN YANG TAK SUKA MAKAN IKAN karya EMA AFRIYANI

(Cerpen ini dimuat Halaman Zetizen koran Batam Pos, 17 November 2019)

Si kulit bundar dioper dari kaki ke kaki yang telanjang tanpa alas. Setiap bola ditendang, butiran pasir ikut bertebaran. Setiap perebutan bola, selalu berhamburan tawa. Anak-anak laki-laki remaja tanggung itu bermain tanpa takut kehabisan tenaga. Mereka bermain hingga senja kembali ke peraduan.

Bukan karena mereka tak ingat waktu untuk mandi atau membantu orangtua. Tapi bermain sepak bola hingga sore adalah satu-satunya hiburan untuk mereka sebagai anak yang tinggal di Kampung Nelayan; tepi pantai.

Pagi mereka sekolah. Setelah itu mengaji. Sehabis ashar baru bermain sepak bola. Malamnya ada yang membantu bapak melaut mencari ikan.

"Ayo San..." ajak Pak Ramli waktu itu.

"Ihsan enggak mau ke laut bantu cari ikan. Mau belajar," jawab Ihsan dengan nada jengkel.

"Kalau kau tak bantu bapak cari ikan, penghasilan kita jadi berkurang. Bagaimana bisa untuk bayar biaya sekolah kau dan adikmu."

"Tujuan sekolah lebih tinggi dari bapak kan, supaya dapat kerja lebih baik. Kalau setiap hari Ihsan diminta melaut, untuk apa sekolah? Jadi nelayan kan enggak perlu sekolah tinggi," kata Ihsan.

"Di laut pun kau masih bisa sambil belajar."

"Nelayan bukan pekerjaan turun menurun, Pak."
Iya. Ihsan ingin memangkas tradisi turun menurun di kampung itu. Untuk anak-anak yang tidak lagi mampu melanjutkan pendidikan lebih baik, mereka akan menjadi nelayan. Atau menjadi kuli panggul di pelabuhan dan pasar ikan.


Anak itu berpikir, kalau terus-terusan membantu bapaknya melaut, lama-lama dia benar-benar menjadi nelayan.

Permainan sepak bola mereka sudah selesai. Satu persatu pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Sedangkan Ihsan masih berada di sana. Kakinya melangkah menuju tepi pantai. Airnya pasang. Semilir angin bertiup lembut.

"Kau tak pulang?" Hilman menepuk punggung anak laki-laki yang sedang mencuci kaki dengan air pantai.

"Sebentar lagi, Man."

Setelah mencuci kaki, dua remaja tanggung itu menyisir pantai untuk menuju rumah. Sesekali kaki mereka menendang butiran pasir. Hilman merentangkan tangan. Memejamkan mata, menghirup udara segar diwaktu yang hampir maghrib.

"Hidup di mana pun, jangan pernah menyesali keadaan. Yang harus kau lakukan setiap saat hanyalah bersyukur. Menerima keadaan. Ada ribuan orang yang ingin ada diposisi kau, San."

"Aku bukan tak menerima keadaan. Cuma ingin merubah."
"Tapi ikan tak bisa berubah jadi daging ayam hahaha..." Hilman tertawa sampai perutnya naik turun.

Warga Kampung Nelayan tau, kalau Ihsan si anak nelayan, tidak suka makan ikan. Keanehan itu yang membuatnya menjadi bahan olok-olokan. Semua jenis ikan, Ihsan tak suka. Katanya, ikan-ikan yang sudah dimasak dipanci seperti hidup. Bahkan hendak memakan tubuhnya. Aneh memang.
Alasan anak itu tidak suka makan ikan karena dulu waktu dia berusia tujuh tahun, seorang temannya menunjukkan kebolehannya dalam menyelam selama dua menit tanpa muncul ke permukaan. Bukan hanya dua menit, bahkan hingga kini tubuh temannya tidak pernah muncul ke permukaan. Sudah dicari dengan bantuan tim sar. Tapi tetap tidak ada hasil.

Banyak warga mengatakan kalau tubuh anak itu dicuri ikan-ikan, dibawa ke suatu tempat, lalu dimakan. Sejak saat itulah Ihsan tidak suka makan ikan.

"Kejadian itu sudah bertahun-tahun. Tapi sampai sekarang kau masih tak mau makan ikan? Duh San... San...."

"Kalau Ihsan makan ikan, sama saja Ihsan makan tubuh teman Ihsan. Lebih parahnya lagi, bagaimana kalau saat Ihsan akan mencuil dagingnya, tiba-tiba jari Ihsan digigit?"

"Imajinasimu terlalu berlebihan," komentar Pak Ramli. "Makan ikan gratis itu nikmat, San. Kita tak perlu memeliharanya. Tapi Allah kasih kita tinggal tangkap saja. Tak makan ikan, sama saja kau tak mensyukuri nikmat dari Allah."

Bulan-bulan berganti, saat itu malam minggu. Ihsan dan bapaknya pergi ke laut lebih cepat. Cuaca terang bulan. Senandung kecil keluar dari mulut Pak Ramli. Menjadi teman mengarungi lautan lepas.

Jala dibentangkan. Lautan tempat mereka berada terlihat sunyi. Tidak ada satupun sampan selain milik mereka.

Anak-bapak itu larut dalam pikiran masing-masing.
Beberapa saat kemudian, jala ditarik. Dan tidak ada satupun ikan yang berada di dalamnya. Pak Ramli mendayung sampan ke tempat yang agak jauh. Jala kembali dibentangkan. Senandung lirih kembali terdengar.

Ketika jala ditarik, hasilnya tetap sama. Tidak ada satupun ikan di dalamnya.

Berjam-jam mengarungi lautan lepas, menghentikan sampan pada satu titik ke titik lain, tidak ada juga seekor ikan yang didapat. Saat bulan mulai turun agak rendah, Pak Ramli mulai mendayung sampan ke tepi. Mereka pulang dengan wajah lelah, tanpa ada hasil yang diperoleh.

"Ini salah satu teguran dari Allah. Sebab salah satu keluarga kita ada yang tidak mensyukuri nikmat yang diberikan," kata Pak Ramli saat masuk rumah disambut istri dan anak perempuannya.

Selepas melaksanakan sholat subuh, Pak Ramli melepas penat dengan memejamkan mata di bangku bambu ruang tamu. Berulang kali hembusan napas berat dihempaskan olehnya. Pikirannya kacau. Memikirkan nasib ikan-ikan yang tiba-tiba menghilang. Bahkan untuk terlelap barangkali sekejap pun tak bisa dilakukan. Matanya terpejam, tapi pikirannya melayang.

*

Pukul tujuh, keluarga Pak Ramli berkumpul di ruang makan. Di atas meja hanya ada nasi putih dan sepiring ikan goreng sisa kemarin malam.

Ihsan hanya meletakkan nasi putih dipiring lalu melahapnya. Pemandangan itu membuat ibu, bapak, dan adiknya saling berpandangan.

"Yang ada cuma ikan, San. Kita tak dapat satupun ikan tadi malam. Tak ada penghasilan untuk membeli lauk hari ini. Makanlah ikan ini. Barangkali nanti malam, kita dapat ikan banyak."
Ihsan menghentikan tangannya menyuapkan nasi putih. Dipandangnya satu persatu wajah keluarganya. Makan dengan nasi putih saja memang sangat hambar. Dan pada akhirnya, anak itu mengambil sepotong ikan bagian ekor, lalu diletakkan dipiring.

"Semoga nanti malam kami dapat ikan banyak Ya Allah. Amin," doanya dalam hati.
Disuapkan ke mulutnya nasi putih dengan daging ikan laut itu. Keluarganya tersenyum lega. Ini untuk pertama setelah bertahun-tahun dia tidak makan ikan.

"Kau tak makan daging temanmu, San," celetuk Pak Ramli. "Setiap yang bernyawa akan kembali pada penciptanya."

"Bersyukurlah dengan apa yang ada. Insya Allah, yang Maha Pemberi akan memberikan yang lebih," kata ibunya.

Malamnya bapak-anak itu kembali mengarungi lautan lepas. Sudah berada sedikit jauh dari tepian, jala dibentangkan. Tak lupa bismillah dibaca. Doa-doa dipanjatkan agar banyak ikan yang masuk ke jala.

Dan malam itu, ratusan ikan bergelimpangan di dalam jala.

"Satu nikmat kau syukuri, ribuan nikmat akan kau dapati. Satu cobaan kau syukuri, ribuan nikmat akan kau nikmati. Jangan putus untuk bersyukur. Merubah boleh. Tapi jangan sampai menyalahkan apa yang terjadi," nasihat Pak Ramli malam itu.

Sejak pagi itu, Ihsan jadi suka makan ikan.

***

Ema Afriyani kelahiran Kendal, 9 Mei 2001. Lulusan Teknik Elektronika Industri di SMK Negeri 1 Bintan Utara. Cerpen dan puisinya pernah dimuat Mbludus.com dan Redaksi Kawaca. Domisili di Bintan.


Posting Komentar