ATAS NAMA KEKUASAAN TERTINGGI
Cerpen Ema Afriyani
(Tanjungpinang Pos, 6 Juni 2023)
Ilustrasi oleh Pur Purwanto/Tanjungpinang Pos
Dulu, sebelum masuk sekolah dasar, Ibu memberitahu bagaimana cara memperkenalkan diri di depan kelas pada hari pertama sekolah. Kata Ibu; pertama saya harus mengucapkan salam, menyebutkan nama panjang, memberitahu nama panggilan, di mana dan tanggal berapa saya lahir, hobi, cita-cita, juga pekerjaan orangtua.
Waktu itu di depan kelas seperti yang ditambahkan Bapak saat latihan di rumah, kalau saya harus mengatakan bahwa pekerjaan Bapak adalah seorang pemimpin.
“Pemimpin apa?” tanya Bu Lia lembut ingin tau lebih lanjut.
“Pemimpin negara,” jawab saya polos dan bangga.
Saya ingat betul, Bu Lia mengerutkan kening
dan menatap saya lekat. “Ayahmu presiden?”
Saya memberikan gelengan. Sebab tidak tau
kalau presiden itu adalah pemimpin negara. Dan waktu latihan Bapak cuma bilang pemimpin negara. Tidak menjelaskan bagaimana maksudnya. Terus Bapak juga tidak mau saya banyak tanya tentang pekerjaannya. Sebagai anak kecil yang masih polos, saya hanya menurut.
“Tapi pekerjaan ayahmu adalah pemimpin negara?”
“Iya,” jawab saya mantap.
“Wah, pemimpin kan punya kekuasaan tinggi,” sahut seorang teman laki-laki berambut agak ikal.
“Berarti ayahmu keren dong,” katanya memuji.
Dibalik senyuman saya yang makin lebar, Bu Lia menatap saya dengan keheranan.
Sejak hari perkenalan itu, saya punya banyak teman. Katanya, mereka senang berteman dengan seorang anak dari pemimpin negara. Selain itu, banyak teman-teman yang takut dengan saya.
Soalnya Bapak punya kekuasaan yang tinggi.
Saya bangga.
Tapi perlahan kebahagiaan itu memudar tatkala kekuasaan yang Bapak miliki dijadikan sebagai ajang penyiksaan saya dan Izal; adik saya.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Bapak mengekang kami. Melarang saya dan adik melakukan banyak hal. Termasuk menyuarakan penyimpangan kepemimpinan Bapak. Bahkan, kesalahan kecil yang terjadi, membuat Bapak memberi hukuman pada saya dan Izal.
Sewaktu usia semakin beranjak remaja, teman-teman mulai mengetahui bahwa saya bukanlah anak seorang pemimpin negara. Bapak hanya seorang tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan elektronik. Fakta tersebut dijadikan sebagai olok-olokan teman sekelas bahkan adik kelas saya.
Mereka mengatai saya gila.
Jika dulu mereka takut, menghormati, banyak yang mau berteman dengan saya—sekarang, sulit untuk mendapat teman. Mereka memilih menjauh sambil mengatai-ngatai ketidakwarasan saya yang mengklaim bahwa anak dari pemimpin negara.
Padahal bukan saya yang gila. Tapi Bapak.
***
Sejak SMA, saya malas berbicara dengan Bapak. Pikirannya terlalu mengada-ada. Tak pernah ada obrolan yang terjalin. Saya cenderung menghindar.
Tak pernah lagi ada cerita-cerita tentang pekerjaan Bapak yang membasmi para koruptor, mengecilkan angka hutang negara, rapat dengan pemimpin negara lain, atau menyetujui sebuah kerja sama.
Hal-hal mengada itu tak ingin lagi saya dengar.
“Saya dan Izal ingin pindah sekolah,” keinginan itu saya utarakan setelah melihat pengumuman kelulusan SMP, dan Izal sedang melaksanakan ujian akhir semester.
“Untuk apa?”
“Untuk menghindari kegilaan Bapak,” jawab
Izal blak-blakan.
Bapak melotot. Dan dengan kemarahan yang tersulut dia berkata, “kalian itu cuma rakyat. Tugasnya itu manut sama pemimpin.”
“Sampai kapan, Pak? Kami nurut sama keinginan Bapak, sedangkan kebijakan-kebijakan Bapak tidak sesuai dengan yang kami inginkan,” kata Izal.
“Kebijakan yang bagaimana?”
“Kebijakan yang mengharuskan kami mengakui bahkan mengatakan kepada semua orang jika Bapak adalah pemimpin negara.”
Bapak mengembuskan napas keras. Menatap lekat pada saya dan Izal. Lalu berkata, “sebuah keluarga itu sama seperti negara. Ada yang memimpin. Bapak. Ada yang mendampingi. Ibu. Dan ada rakyatnya, kalian berdua.”
Izal membuang pandangan dengan senyum kecut.
“Sebagai rakyat, kalian berdua harus manut sama pemimpin.”
“Kalau pemimpinnya salah, apa harus dibiarkan saja?” kata Izal dengan nada ketus.
“Lagipula, saya dan Izal bukan rakyat Bapak. Tapi anak Bapak,” tambah saya.
“Apa Bapak pernah buat salah selama memimpin keluarga ini?”
Izal langsung diam dan membuang pandangan pada karpet merah di bawah kakinya. Mungkin sambil mengeluarkan rapor kepemimpinan Bapak dari kepalanya. Tentunya, dibolak-balik ke sana sini, dilihat dari atas bawah kiri kanan depan belakang, rapor Bapak tak ada merahnya.
Tapi tetap saja. Kami hanya ingin permainan
negara dalam keluarga kami diakhiri.
***
“Saya butuh laptop, Pak,” kata Izal saat makan malam.
“Untuk apa?” tanya Bapak ketus.
“Sarana membuat tugas sekolah. Agar menghemat waktu. Supaya saya enggak bolak-balik ke warnet.”
Bapak terdiam. Izal melempar pandangan pada Ibu. Berharap agar Ibu membantu mengatakannya pada Bapak. Tapi sampai nasi dipiring masing-masing hampir habis, obrolan tersebut dibiarkan menggantung oleh Bapak.
“Sebagai pemimpin, coba sekali-kali Bapak mendengarkan rakyatnya. Apa yang dibutuhkan rakyat. Jangan hanya minta rakyatnya menurut terus, Pak,” ucap saya.
Bapak menghentikan tangannya menyuapkan nasi. “Anggaran uang negara tidak ada yang akan dialokasikan untuk pembelian laptop,” kata Bapak.
“Apa kalian mau enggak makan? Enggak punya tempat tinggal? Atau hutang negara semakin membengkak?”
“Ya sudah, ganti pemimpin saja,” saran Izal yang membuat suasana di ruang makan benar-benar hening.
Bapak menatap Ibu, saya, dan Izal secara bergantian.
“Baik. Kalau itu mau kamu,” Bapak menghentikan ucapannya. Meraih gelas berisi air putih, meminum separo isinya. “Atas nama kekuasaan tertinggi, Bapak serahkan jabatan kepemimpinan ini pada Ibu. Mungkin kekacauan di negara ini bisa teratasi.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Bapak meninggalkan ruang makan. Bukan, bukan hanya meninggalkan ruang makan, tapi juga meniggalkan bumi untuk selama-lamanya.
Setelah masuk kamar pada malam itu Bapak tidur pulas. Hingga pagi. Saat dibangunkan Ibu untuk bekerja, ternyata Bapak sudah tidak bernyawa.
Kepemimpinan digantikan oleh Ibu. Sebagai wanita yang berumur Ibu bekerja di sebuah tempat pencucian baju. Kondisi negara kami memburuk. Hutang membengkak. Tersebar di mana-mana. Dan pada akhirnya, saya putus sekolah. Dan Izal ... minggat dari rumah.
***
EMA AFRIYANI, lahir di Kendal, 9 Mei 2001. Pernah belajar di SMK Negeri 1 Bintan Utara. Penikmat fajar dan teh.
Posting Komentar